Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2008

Untuk Apa Berbeda

Untuk apa berbeda warna Berbeda visi, misi dan garis perjuangan politik Berbeda menakar plata form parpol Yang merindukan badut-badut penguasa Kami, rakyat butuh makan, damai dan senyum Bukan sebatas kata makan Kami, rakyat tidak butuh janji untuk makan, damai, senyum Kami, rakyat butuh bukti makanan, rasa damai dan tebaran senyum di setiap rongga-rongga kulit bumi Untuk Apa Terus Berbeda; jika masih ada air mata kaum lata membasahi bumi jika masih terbersit seberkas darah politik di jalanan jika tuan-tuan politik saling menabrakan angkuh keangkeran jika rakyat jelata masih mengungsi ke bilik-bilik kesunyian jika massa tuan-tuan masih saling mengancam jika kami rakyat masih menebar senyum palsu jika bicara lantang dengan pengeras suara di pundak jika alat tajam masih tetap berbicara jika lentera politik membentur batu dan bersarang di pucuk cakrawala Jika masih ada keping debu traumatis menyayat kalbu anak negeri Untuk apa berbeda? Kucari perbedaan di awang-awang Katanya buru

Cermin Cinta Yang Retak

Bendel keakuan terpahat kambuh Empul keegoan tertancap menembus cinta Sketsa bumi tersembunyi dalam tanya Kepingan cintapun seketika retak Hanyut dalam larutan air mata dan sesal Awan gemawan mengaca tajam Meneropong hati yang serba bisu Comelan bisupun mengadu Dalam batin awak semesta yang berlaraz lirik Saat dendam mendendang maaf Tercebur dalam pengapan cinta nan asam Mengais naluri yang merindu cinta Akan patahan hidup penuh riak Rayuan pun kian meredup Tersembunyi meradang akan cinta Seakan cinta terakit pada dinding asmara Lalu, Silentium Magnum menebar senyum Melele dalam rongga yang tidak bertepi Pun membeku di atap bilur-bilur nista Kala cermin cinta bertepuk retak Suasana bising sontak berlagu Memagnet cemburu Dalam bilik-bilik hati yang menyimpuh Menoreh pose bumi penuh tatap Semua berlabuh di tepian batin…. Pantai Sanur, Bali 9 Februari 2006

Dalam Relung Senja

Syair Kyrie Eleison mendaras Kala senja nyaris merayu bibir laut Titah hati bumi bergema, Terhempas dalam gubuk-gubuk pasir putih Terdengar melodi, Kyrie Eleison Meski tak ada bilur bumi yang diampuni Deru ombak bersibak dalam relung telapak Semilir angin pasang berhembus Merasuk dalam sekat-sekat bumi Pasir bergesek pertanda ada kehidupan Ingin menyapa tamu pantai yang berselangka datar Semedi tuk membuang kebisingan Di atas onggokan rutinitas kehidupan Tapi, hati tetap menahan duka palu Yang merobek kalbu dalam paruh waktu Tersabit pada sarang nurani yang munafik Dalam bilur-bilur dengki, dusta, isu dan nista Aku menatap senja di telaga nirmala Dalam bentangan teriakan gempita Kucoba menggali pasir untuk mengaca Adalah jawaban keangkuhan Adalah sia-sia keabadian komedi Adalah tersisa kata tidak ‘tuk tak terus bergumul Dalam lautan kesalahan dan kegamangan Dalam samudera godaan beruntun Hanya, Adakah bibit maaf tersembul bersama desiran angin? Adakah sisa-sisa mujizat yang

Sinar Cinta Kematian

Pada telaga keterlelapan Selaksa cahaya menyorot punggung Aku coba sembunyi dan merayap Bayangan malam menyelinap pada badan jalan setapak Kucoba malu melangkah seribu Aku terasa penuh pilu dan bilur Aku cape dikejar-kejar sinar Dalam pelukan punggung bumi yang retak Semua hanya berarak di tepi-tepi jalan setapak Aku lalu sadar terlambat Sorotan sinar nan tajam adalah kehadiran-mu, Mama Aku lalu sadar dan tahu, Mama Engkau begitu menyayangiku Dengan susu buah dada-mu dulu Aku bangga Mama-ku Susu-mu yang kurus adalah Tempat bersarang mulutku dulu Aku tahu mama-ku Dalam susu buah dada-mu, Ada kasih dan sayang Ada roh kehidupan dalam bayang-bayang terang Sinar-mu yang datang adalah Tempat bersarang kasih dan sayang dulu Sinar-mu itu, tanda pamit mama kepada-ku Bahwa aku pergi, nak… Hanya aku tak menepis, Mama tega menyapa aku pergi pada larut malam, Rabu 2 Juni 2004 Mama, aku lantas sadar Aku tak mungkin bisa lari Tidak pernah rencana melari Aku masih waras soal beb

Aku Pergi

Pergi menuju, Pergi berjuang bukan untuk berbelaskasih pun tidak untuk dikasihani tapi tetap menabur cinta tuk menuai belaskasih Aku pergi, ya pergi ke seberang Di sana, wajah semesta menanti tuk bersama berjuang, meniti karier mengukir prestasi Aku pergi tanpa berdalih berdalih untuk atau demi hanya satu tekad ‘Aku pergi’ Merambas pasar metropolitan Jakarta Membuktikan prinsip ‘Aku Menang’ Diam, membidik kalbu Relung-relung hati berkata ‘menang dan sukses’ Ya, Aku Pergi bersandar jiwa menggempur kegelapan, Mencari peta-peta cela di keriuhan metropolitan Pergi mencari terang, Terang kemenangan, Terang kesuksesan, Terang prestasi sebagai dasar cita Aku Harus pergi, Pergi merambah kegelapan, Yang mengusik awak-awak semesta, tapi … Kegelapan yang bukan hampa yang tak bergulita yang bukan tiada terang yang bukan tiada ada yang berisi selaksa peluang, segudang potensi Aku Pergi, Menapaki tangga-tangga di medan potensi Menabur benih padu dan prestasi Menuai impian cita dari