Langsung ke konten utama

Sinar Cinta Kematian

Pada telaga keterlelapan
Selaksa cahaya menyorot punggung
Aku coba sembunyi dan merayap
Bayangan malam menyelinap pada badan jalan setapak
Kucoba malu melangkah seribu
Aku terasa penuh pilu dan bilur
Aku cape dikejar-kejar sinar
Dalam pelukan punggung bumi yang retak
Semua hanya berarak di tepi-tepi jalan setapak
Aku lalu sadar terlambat
Sorotan sinar nan tajam adalah kehadiran-mu, Mama
Aku lalu sadar dan tahu, Mama
Engkau begitu menyayangiku
Dengan susu buah dada-mu dulu
Aku bangga Mama-ku
Susu-mu yang kurus adalah
Tempat bersarang mulutku dulu
Aku tahu mama-ku
Dalam susu buah dada-mu,
Ada kasih dan sayang
Ada roh kehidupan dalam bayang-bayang terang
Sinar-mu yang datang adalah
Tempat bersarang kasih dan sayang dulu
Sinar-mu itu, tanda pamit mama kepada-ku
Bahwa aku pergi, nak…
Hanya aku tak menepis,
Mama tega menyapa aku pergi
pada larut malam, Rabu 2 Juni 2004
Mama, aku lantas sadar
Aku tak mungkin bisa lari
Tidak pernah rencana melari
Aku masih waras soal beban kasih, sayang dan derita dulu
Memikul tanggung jawab yang maha kasih
Cahaya-mu adalah sinar kematian
Di sana, Nu Teruik menembus Kota Dato Ninluli
Merabas hutan dan jalan tak beratap
Aku tahu,
Cahaya kematian raksasa Mamaku, Bernadina Moru
Hanya, izinkan aku harus bertanya,
Mengapa harus tiga kali mama menyinariku?
Juga aku tahu, tuk tak lari memikul beban
Aku lantas tahu,
Mama meninggal dunia
Itulah, cahaya cinta kematian
Akupun tahu,
Cahaya adalah jembatan terang
Kematian adalah jembatan kehidupan
Mama, aku sadar
Mama sayang, cinta dan kasih padaku
Dalam sorotan cahaya ASI
Pun aku tengadah mengais wajah-mu
Semua sirna ditelan jarak dan waktu
Tapi…
Bukan aku tolak cahaya-mu
Aku coba lari sembunyi
Aku masih banyak utang
Aku tahu yang Mama tahu
Aku mau balas mama
Terlambat dalam air mata jarak
Selamat Jalan Mama- ku Tercinta

Rabu, 3 Juni 2004
Bouraq Airlines, Surabaya – Kupang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin Cinta Yang Retak

Bendel keakuan terpahat kambuh Empul keegoan tertancap menembus cinta Sketsa bumi tersembunyi dalam tanya Kepingan cintapun seketika retak Hanyut dalam larutan air mata dan sesal Awan gemawan mengaca tajam Meneropong hati yang serba bisu Comelan bisupun mengadu Dalam batin awak semesta yang berlaraz lirik Saat dendam mendendang maaf Tercebur dalam pengapan cinta nan asam Mengais naluri yang merindu cinta Akan patahan hidup penuh riak Rayuan pun kian meredup Tersembunyi meradang akan cinta Seakan cinta terakit pada dinding asmara Lalu, Silentium Magnum menebar senyum Melele dalam rongga yang tidak bertepi Pun membeku di atap bilur-bilur nista Kala cermin cinta bertepuk retak Suasana bising sontak berlagu Memagnet cemburu Dalam bilik-bilik hati yang menyimpuh Menoreh pose bumi penuh tatap Semua berlabuh di tepian batin…. Pantai Sanur, Bali 9 Februari 2006

Untuk Apa Berbeda

Untuk apa berbeda warna Berbeda visi, misi dan garis perjuangan politik Berbeda menakar plata form parpol Yang merindukan badut-badut penguasa Kami, rakyat butuh makan, damai dan senyum Bukan sebatas kata makan Kami, rakyat tidak butuh janji untuk makan, damai, senyum Kami, rakyat butuh bukti makanan, rasa damai dan tebaran senyum di setiap rongga-rongga kulit bumi Untuk Apa Terus Berbeda; jika masih ada air mata kaum lata membasahi bumi jika masih terbersit seberkas darah politik di jalanan jika tuan-tuan politik saling menabrakan angkuh keangkeran jika rakyat jelata masih mengungsi ke bilik-bilik kesunyian jika massa tuan-tuan masih saling mengancam jika kami rakyat masih menebar senyum palsu jika bicara lantang dengan pengeras suara di pundak jika alat tajam masih tetap berbicara jika lentera politik membentur batu dan bersarang di pucuk cakrawala Jika masih ada keping debu traumatis menyayat kalbu anak negeri Untuk apa berbeda? Kucari perbedaan di awang-awang Katanya buru