Langsung ke konten utama

Dalam Relung Senja


Syair Kyrie Eleison mendaras
Kala senja nyaris merayu bibir laut
Titah hati bumi bergema,
Terhempas dalam gubuk-gubuk pasir putih
Terdengar melodi, Kyrie Eleison
Meski tak ada bilur bumi yang diampuni
Deru ombak bersibak dalam relung telapak
Semilir angin pasang berhembus
Merasuk dalam sekat-sekat bumi
Pasir bergesek pertanda ada kehidupan
Ingin menyapa tamu pantai yang berselangka datar
Semedi tuk membuang kebisingan
Di atas onggokan rutinitas kehidupan
Tapi, hati tetap menahan duka palu
Yang merobek kalbu dalam paruh waktu
Tersabit pada sarang nurani yang munafik
Dalam bilur-bilur dengki, dusta, isu dan nista
Aku menatap senja di telaga nirmala
Dalam bentangan teriakan gempita
Kucoba menggali pasir untuk mengaca
Adalah jawaban keangkuhan
Adalah sia-sia keabadian komedi
Adalah tersisa kata tidak ‘tuk tak terus bergumul
Dalam lautan kesalahan dan kegamangan
Dalam samudera godaan beruntun
Hanya,
Adakah bibit maaf tersembul bersama desiran angin?
Adakah sisa-sisa mujizat yang ditunggu?
Adakah umpatan masih terus menggumpal?
Katakan ‘Tidak’ untuk kali terakhir
Sebab yang tersisa
adalah kesia-siaan dan kamuflase
Yang lagi tersisa adalah senyum rayuan
Hanyutkan bersama tenggelamnya mentari
Dalam deraian butir-butir samudera
Lalu itu,
Aku coba sembunyi dalam diam
Menakar warna aneka mentari di ufuk barat
Hanya kandas dalam nirwana Petitenget
Terbalut dalam sarang-sarang karang

Denpasar, 24 September 2004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cermin Cinta Yang Retak

Bendel keakuan terpahat kambuh Empul keegoan tertancap menembus cinta Sketsa bumi tersembunyi dalam tanya Kepingan cintapun seketika retak Hanyut dalam larutan air mata dan sesal Awan gemawan mengaca tajam Meneropong hati yang serba bisu Comelan bisupun mengadu Dalam batin awak semesta yang berlaraz lirik Saat dendam mendendang maaf Tercebur dalam pengapan cinta nan asam Mengais naluri yang merindu cinta Akan patahan hidup penuh riak Rayuan pun kian meredup Tersembunyi meradang akan cinta Seakan cinta terakit pada dinding asmara Lalu, Silentium Magnum menebar senyum Melele dalam rongga yang tidak bertepi Pun membeku di atap bilur-bilur nista Kala cermin cinta bertepuk retak Suasana bising sontak berlagu Memagnet cemburu Dalam bilik-bilik hati yang menyimpuh Menoreh pose bumi penuh tatap Semua berlabuh di tepian batin…. Pantai Sanur, Bali 9 Februari 2006

Sinar Cinta Kematian

Pada telaga keterlelapan Selaksa cahaya menyorot punggung Aku coba sembunyi dan merayap Bayangan malam menyelinap pada badan jalan setapak Kucoba malu melangkah seribu Aku terasa penuh pilu dan bilur Aku cape dikejar-kejar sinar Dalam pelukan punggung bumi yang retak Semua hanya berarak di tepi-tepi jalan setapak Aku lalu sadar terlambat Sorotan sinar nan tajam adalah kehadiran-mu, Mama Aku lalu sadar dan tahu, Mama Engkau begitu menyayangiku Dengan susu buah dada-mu dulu Aku bangga Mama-ku Susu-mu yang kurus adalah Tempat bersarang mulutku dulu Aku tahu mama-ku Dalam susu buah dada-mu, Ada kasih dan sayang Ada roh kehidupan dalam bayang-bayang terang Sinar-mu yang datang adalah Tempat bersarang kasih dan sayang dulu Sinar-mu itu, tanda pamit mama kepada-ku Bahwa aku pergi, nak… Hanya aku tak menepis, Mama tega menyapa aku pergi pada larut malam, Rabu 2 Juni 2004 Mama, aku lantas sadar Aku tak mungkin bisa lari Tidak pernah rencana melari Aku masih waras soal beb

Untuk Apa Berbeda

Untuk apa berbeda warna Berbeda visi, misi dan garis perjuangan politik Berbeda menakar plata form parpol Yang merindukan badut-badut penguasa Kami, rakyat butuh makan, damai dan senyum Bukan sebatas kata makan Kami, rakyat tidak butuh janji untuk makan, damai, senyum Kami, rakyat butuh bukti makanan, rasa damai dan tebaran senyum di setiap rongga-rongga kulit bumi Untuk Apa Terus Berbeda; jika masih ada air mata kaum lata membasahi bumi jika masih terbersit seberkas darah politik di jalanan jika tuan-tuan politik saling menabrakan angkuh keangkeran jika rakyat jelata masih mengungsi ke bilik-bilik kesunyian jika massa tuan-tuan masih saling mengancam jika kami rakyat masih menebar senyum palsu jika bicara lantang dengan pengeras suara di pundak jika alat tajam masih tetap berbicara jika lentera politik membentur batu dan bersarang di pucuk cakrawala Jika masih ada keping debu traumatis menyayat kalbu anak negeri Untuk apa berbeda? Kucari perbedaan di awang-awang Katanya buru